Kamis, September 06, 2007

Soekarno on Marhaenisme

Aku baru berumur 20 tahun ketika suatu ilham politik yang kuat menerangi pikiranku. Mula-mula ia hanya berupa kuncup dari suatu pemikiran yang mengorek-ngorek otakku, akan tetapi tidak lama kemudian ia menjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri.

Di kepulauan kami terdapat pekerja-pekerja yang bahkan lebih miskin daripada tikus gereja dan dalam segi keuangan terlalu menyedihkan untuk bisa bangkit di bidang sosial, politik dan ekonomi. Sungguh pun demikian masing-masing menjadi majikan sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Dia menjadi kusir gerobak kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak mempekerjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelayan-nelayan yang bekerja sendiri dengan alat-alat - seperti tongkat-kail, kailnya dan perahu - kepunyaan sendiri. Dan begitupun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari hasilnya. Orang-orang semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami.

Semuanya menjadi pemilik dari alat produksi mereka sendiri, jadi mereka bukanlah rakyat proletar. Mereka punya sifat khas tersendiri. Mereka tidak termasuk dalam salah satu bentuk penggolongan. Kalau begitu, apakah mereka ini sesungguhnya? Itulah yang menjadi renunganku berhari-hari, bermalam-malam dan berbulan-bulan. Apakah sesungguhnya saudaraku bangsa Indonesia itu? Apakah namanya para pekerja yang demikian, yang oleh ahli ekonomi disebut dengan istilah "Penderita Minimum"? Di suatu pagi yang indah aku bangun dengan keinginan untuk tidak mengikuti kuliah - ini bukan tidak sering terjadi. Otakku sudah terlalu penuh dengan soal-soal politik, sehingga tidak mungkin memusatkan perhatian pada studi.

Sementara mendayung sepeda tanpa tujuan - sambil berpikir- aku sampai di bagian selatan kota Bandung, suatu daerah pertanian yang padat di mana orang dapat menyaksikan para petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masing-masing luasnya kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena beberapa hal perhatianku tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Dia seorang diri. Pakaiannya sudah lusuh. Gambaran yang khas ini kupandang sebagai perlambang dari rakyatku.

Aku berdiri di sana sejenak memperhatikannya dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang ramah, maka aku mendekatinya. Aku bertanya dalam bahasa Sunda,
"Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?"
Dia berkata kepadaku, "Saya, juragan."
Aku bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?"
"O, tidak, gan. Saya sendiri yang punya."
"Tanah ini kaubeli?"
"Tidak. Warisan bapak kepada anak turun-temurun."
Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali.... aku menggali secara mental. Pikiranku mulai bekerja. Aku memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir,tanyaku semakin bertubi-tubi pula.
"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah kepunyaanmu juga?"
"Ya, gan."
"Dan cangkul?"
"Ya, gan."
"Bajak?"
"saya punya, gan."
"Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?"
"Untuk saya, gan."
"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?"
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri."
Bagaimana sawah yang kecil begini kecil bisa cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?"
"Apakah ada yang dijual dari hasilmu?" tanyaku
"Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."
"Kau mempekerjakan orang lain?"
"Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya."
"Apakah engkau pernah memburuh?"
"Tidak, gan. Saya harus membanting-tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saja."
Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil.
"Siapa yang punya rumah itu?"
"Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri."
"Jadi kalau begitu," kataku sambil menjaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara
"Semua ini engkau punya?"
"Ya, gan."

Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanya "MARHAEN"

Marhaen adalah nama yang biasa seperti Smith dan Jones. Di saat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakan rakyatku rakyat Marhaen.

Selanjutnya di hari itu aku mendayung sepeda berkeliling mengolah pengertianku yang baru. Aku memperlancarnya. Aku mempersiapkan kata-kataku dengan hati-hati. Dan malamnya aku memberikan indoktrinasi mengenai hal itu kepada kumpulan pemudaku. Petani-petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali. Mereka adalah korban dari sistem feodal, di mana pada mulanya petani pertama diperas oleh bangsawan yang pertama dan seterusnya sampai ke anak-cucunya selama berabad-abad. Rakyat yang bukan petani pun menjadi korban daripada imperialisme perdagangan Belanda, karena nenek moyangnya telah dipaksa untuk hanya bergerak di bidang usaha yang kecil sekedar bisa memperpanjang hidupnya.

Rakyat yang menjadi korban ini, yang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen. Aku menunjuk seorang tukang gerobak "Engkau..... engkau yang di sana. Apakah engkau bekerja di pabrik untuk orang lain" "Tidak", katanya. "Kalau begitu engkau adalah Marhaen.". Aku menggerakkan tangan ke arah seorang tukang sate. "Engkau... engkau tidak punya pembantu, tidak punya majikan, engkau juga seorang Marhaen". Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada penghisapan tenaga kerja seorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktek. Perkataan Marhaenisme adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami.





Tidak ada komentar: