Senin, September 24, 2007

Aku Bermimpi Jadi Koruptor Oleh Kwik Kian Gie

AKHIR-akhir ini media massa, seminar, diskusi,
konferensi pers, talk show, ngerumpi, dan pembicaraan di
warung-warung gegap gempita dengan topik KKN.
Terpilihnya Komisi Pemberantasan Korupsi oleh DPR
diberitakan secara hiruk-pikuk pula. Saya sempat
berpikir apakah KPK akan efektif karena modus operandi
korupsi yang begitu beragam.
Lagi pula, moral dan mental yang sudah rusak tidak
termasuk dalam tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Jadi, kalau diibaratkan
pohon, KPK hanya menangani daun yang rusak karena
akarnya busuk. Selama akarnya tidak diobati, selalu akan
bermunculan daun-daun yang rusak. Mengobati akar atau
kalau sudah tidak bisa membunuhnya saja, tidak termasuk
domain KPK.
Karena intensnya dikonfrontasi dengan topik KKN seperti
ini, saya tertimpa mimpi. Dalam mimpi itu saya menjadi
koruptor. Saya menguasai betul berbagai cara berkorupsi,
dari yang paling kotor sampai yang paling canggih. Maka,
saya menjadi orang sangat kaya. Rasanya tidak seorang
pun yang mempunyai gambaran betapa besar kekayaan yang
saya peroleh dari korupsi. Semuanya bisa dibeli dengan
uang, juga hukum. Maka, dalam salah satu pesta ketika
saya mabuk, saya berkata, "I am the Lord, I am the law,
and I am the richest man in Indonesia."
MIMPI selalu kacau. Dalam melakukan korupsi saya
terkadang menjadi penguasa, terkadang pengusaha,
terkadang pegawai negeri rendahan, terkadang pengusaha
besar, tukang parkir, dan apa saja yang mempunyai
kekuasaan. Kekuasaan adalah modal dasar korupsi.
Sebagai pengusaha saya menyalahgunakan semua celah yang
ada. Yang paling mudah dan sederhana adalah menjadi
rekanan dan pemasok kepada pemerintah. Pemerintah
membutuhkan barang dan jasa. Setiap tahunnya
membelanjakan jumlah uang yang luar biasa besarnya.
Caranya adalah kongkalikong dengan pejabat yang
mempunyai wewenang untuk membeli barang dan jasa untuk
kebutuhan kementerian atau badan pemerintah yang
dipimpinnya. Harga saya naikkan berkali lipat dan
selisihnya saya bagi dengan sang pejabat. Hasilnya
lumayan, tetapi saingannya berat, karena banyak sekali
yang melakukan hal ini.
Konsepnya terlampau mudah. Meski demikian, saya sudah
tidak melakukannya sendiri. Saya sudah mempunyai banyak
pegawai tingkat tinggi yang tidak memalukan kalau saya
suruh bergaul dengan para pejabat yang rata-rata
sarjana. Merekalah yang melayani pejabat habis- habisan,
dari melayani istri dan anak- anaknya sampai
mengantarkan sambil membayari mereka berbelanja. Bahkan,
mereka sampai berfungsi sebagai pembantu rumah tangga
sang pejabat.
Modal utama cara berbisnis seperti ini adalah rai
gedhek, mental budak, dan tahan ngelesot berhari-hari
sambil sering berfungsi sebagai badut. Usaha ini yang
dilakukan pegawai-pegawai saya berjalan terus. Saya
sendiri meningkatkan diri dalam berkreasi dan inovasi
konsep-konsep yang lebih canggih.
Setiap zaman saya memberi peluang KKN yang bentuknya
lain. Sejak tahun enam puluhan saya sudah melakukan
banyak cara. Semuanya saya lakukan dalam mimpi juga,
yang ketika itu saya bermimpi menjadi konglomerat.
Berbagai modus operandi sudah saya tulis dalam berbagai
artikel yang dihimpun dalam buku kecil dengan judul Saya
Bermimpi Jadi Konglomerat.
DALAM mimpiku sekarang aku untung besar dengan hanya
ongkang-ongkang saja. Pemerintah bermaksud meningkatkan
ekspor (export drive). Caranya memberikan kredit murah
dengan bunga 12 persen setahun asalkan kreditnya dipakai
untuk membiayai kegiatan ekspor. Bunga deposito ketika
itu 22 persen setahun. Saya mengajukan permohonan kredit
ekspor dengan rencana ekspor yang meyakinkan.
Feasibility study dibuat oleh konsultan asing dan
ditulis dalam bahasa Inggris. Pejabat tinggi kita
menganggap apa saja yang asing dan dalam bahasa Inggris
mesti lebih benar dan lebih pandai. Demikian juga
laporan keuangan saya juga seluruhnya ditulis dalam
bahasa Inggris setelah diaudit oleh kantor akuntan yang
termasuk big five di dunia.
Segera saja kreditnya cair. Tentu dengan uang suap
seperlunya. Kegiatan ekspor juga saya laksanakan. Hanya
yang saya ekspor gombal, kain pel, potongan- potongan
sisa tekstil untuk membuat pakaian jadi. Barang-barang
ini diekspor kepada perusahaan saya sendiri di
Singapura. Setibanya, barang-barang itu langsung
dibuang. Jadi tidak ada penggunaan uang dari kredit
ekspor untuk ekspor beneran. Namun, saya dapat
memperlihatkan semua dokumen ekspor. Kredit dengan bunga
12 persen saya depositokan dengan bunga 22 persen.
Kredit yang saya peroleh Rp 500 miliar. Dalam setahun
saya mendapatkan pendapatan bersih (setelah dipotong
pajak) sebesar Rp 93,5 miliar, yaitu 22 persen dari Rp
500 miliar dipotong pajak sebesar 15 persen. Bunga yang
harus saya bayarkan kepada bank BUMN sebesar 12 persen
dari Rp 500 miliar atau Rp 60 miliar. Saya untung Rp
33,5 miliar for doing nothing.
Yang paling hebat adalah ketika ketahuan dan diberitakan
di media massa. BI menyatakan tidak ada yang dirugikan
karena saya membayar utang pokoknya tepat waktu.
Demikian juga dengan bunga sebesar 12 persen setahun
yang mereka tentukan. Hi-hi, mereka tidak peduli bahwa
tujuan meningkatkan ekspor tidak tercapai. Jelas mereka
membodohkan diri sendiri, menjadikan dirinya sendiri
"teh botol" (teknokrat bodoh dan tolol) karena saya
sogok. Sambil melakukan ini terus, melalui asosiasi
perusahaan, dengan kawan-kawan saya kampanye antisuap.
Media massa memberitakannya besar-besar tanpa kritik
karena penyuapan cara halus yang dinamakan public
relations saya cukup canggih.
DALAM bidang transportasi darat Indonesia sangat
ketinggalan. Praktis tidak ada jalan-jalan raya yang
bebas hambatan (highway atau free way). Bayangkan, jalan
raya sepanjang Pulau Jawa yang membangun adalah
Daendels. Dalam kemerdekaan yang 58 tahun itu kita tidak
mampu membangun jalan raya dari pulau yang paling padat.
Sekarang keuangan negara bangkrut-krut. Pemerintah dalam
arti APBN tidak mempunyai uang. Namun, bank-bank BUMN
banyak duitnya.
Saya usulkan supaya saya diberi izin membangun jalan tol
swasta yang milik saya. Modal yang dibutuhkan tentu
sangat besar. Dengan menyogok seperlunya, saya
memperoleh 100 persen dari dana yang dibutuhkan untuk
membangun jalan tol tersebut. Biayanya Rp 800 miliar.
Dengan kredit Rp 800 miliar jadilah jalan tol. Begitu
dipakai, pemakainya membayar tol fee secara tunai.
Pemasukan uang ini dibagi 40 persen untuk saya dan 60
persen untuk membayar cicilan utang serta bunganya. Jadi
begitu jalan tol selesai, arus uang tunai serta-merta
masuk ke kantong saya tanpa modal sama sekali.
Utang saya beserta bunganya juga serta-merta dicicil
dari pemasukan tol fee yang tunai. Saya membuat proyeksi
tentang berapa tahun sejak dimulainya utang akan lunas,
misalnya 15 tahun. Lantas saya umumkan bahwa setelah 15
tahun, jalan tol saya hibahkan kepada pemerintah.
Bukankah luar biasa cemerlangnya saya?
Tidak. Seperti saya katakan, tidak semua birokrat
tingkat tinggi "teh botol". Mereka tahu bahwa semuanya
dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri. Namun, saya
sogok plus saya berikan segala argumentasinya, seperti
jalan tol itu perlu, pemerintah tak punya uang, dan yang
terpenting ideologinya bahwa pemerintah sebaiknya tidak
ikut campur memiliki barang, seperti jalan tol
sekalipun. Saya jelaskan bahwa ini aliran pikiran yang
modern yang menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar.
Mereka dan publik memakan teori ini.
Saya tertawa geli lagi karena ini bukan teori baru. Adam
Smith yang mengenali berlakunya mekanisme pasar, adanya
invisible hands yang mengaturnya. Namun, hal itu sudah
lama ketinggalan zaman karena ditulisnya pada tahun
1776. Intinya masih berlaku, tetapi tidak untuk barang
publik, melainkan untuk barang-barang kelontong yang
bisa dipersaingkan dan tidak vital sifatnya. Jalan tol
mengandung monopoli natural karena ruangnya untuk jalan
tol untuk ruas tertentu hanya satu. Mengapa harus
diberikan kepada saya? Karena saya sogok! Namun,
justifikasinya berbagai argumen yang ternyata ditelan
dengan fanatik karena yang berkuasa ketika itu "teh
botol".
PARALEL dengan ide tentang jalan tol ini, berbagai
gedung pencakar langit saya beli. Gedung bank BUMN saya
beli dengan uang yang 100 persen milik bank itu sendiri.
Saya memperoleh pinjaman dari bank BUMN yang
bersangkutan. Gedungnya saya beli. Karena gedung sudah
milik saya, bank harus membayar sewa kepada saya.
Perolehan pembayaran sewa ini saya pakai untuk mencicil
utang pokok beserta bunganya dalam bentuk anuitas.
Jumlah anuitasnya saya samakan dengan uang sewa yang
saya terima. Dengan demikian, setelah sekian tahun
gedung yang segitu besarnya milik saya. Mulai saat itu
hasil sewa sepenuhnya saya nikmati karena utang sudah
lunas sama sekali.
Bayangkan, berapa besar pendapatan saya karena yang saya
begitukan bukan hanya satu gedung. Masa pimpinan bank
begitu bodoh? Tidak, tetapi menjadi bodoh karena
cemerlangnya pikiran saya ditambah dengan perolehan uang
banyak dari persekongkolan dengan saya.
INDONESIA sudah maju, mempunyai banyak perusahaan
asuransi, antara lain asuransi jiwa. Kalau tertanggung
mati, ahli warisnya mendapat santunan besar. Saya
menciptakan orang-orang yang tidak ada. Jadi, saya
menciptakan tertanggung fiktif yang tempat tinggalnya di
daerah-daerah yang sangat terpencil. Setelah membayar
premi beberapa kali saja, saya menciptakan dokumen aspal
tentang kematian tertanggung yang memang tidak ada. Ahli
warisnya orang-orang saya semua.
Masih banyak lagi cara-cara membobol perusahaan
asuransi. Tentu orang dalam perusahaan asuransi harus
ikut di dalam komplotan ini supaya tidak meneliti lagi.
Maka, hampir semua perusahaan asuransi modal ekuitinya
negatif.
Ketika ramai dibicarakan tentang adanya kemungkinan
pemalsuan uang, bukan hanya satu pihak saja yang
terlibat, seperti yang bahkan disebut namanya di surat
kabar. Saya melakukannya juga. Uang palsu saya tidak
pernah ketahuan karena tidak pernah beredar. Uang yang
saya palsu senantiasa mengendap di kas sebagai iron
stock atau persediaan minimum untuk menjaga keamanan
likuiditas. Jadi, saya mencetak uang palsu.
Uang ini saya tukar dengan uang yang harus selalu ada,
tetapi nyatanya tidak pernah beredar karena setiap bank
harus mempunyai persediaan minimal. Dengan demikian
tidak akan pernah diketahui kecuali kalau akuntan publik
mengauditnya dengan mencatat nomor seri uang dan
selanjutnya mengamati apakah uang dengan nomor seri
tertentu itu terus-menerus mengendap di kas. Akuntan
publik tidak sampai ke sana pikirannya.
Masih banyak lagi yang saya lakukan dalam mimpi. Akan
saya lanjutkan dalam mimpi berikutnya.
Kwik Kian Gie Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Bappenas

fwd by Redaksi from KOMPAS, Rabu, 28 Januari 2004

Tidak ada komentar: